Bismillah,
Tiga minggu yang lalu sekolah kami kedatangan seorang siswa baru, siswa tersebut menjadi trending topic diantara guru-guru, takjub kami kepadanya dan kepada kedua orang tuanya. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada mereka, saya ingin mengisahkan pengalaman kami yang sangat singkat ketika dia menjadi bagian dari kami. Kemudian, atas dasar kemashlahatan, nama yang diceritakan adalah bukan nama yang sebenarnya. Semoga cerita ini bermanfaat.
Hari itu adalah siang yang cukup terik, ketika saya sedang bekerja sambil menikmati udara dingin dari AC di ruangan tempat saya bekerja. Tiba-tiba saya mendengar suara tangisan seorang bayi. “Bayi siapa ya..?” pikirku. Saya khawatir ibunya adalah salah satu staf guru di sekolah, karena pada saat itu adalah waktu kegiatan belajar, sehingga tidak berada di sampingnya. Maka, saya pun mencari sumber suara tersebut.
Setelah dicari, ternyata ibunya berada di sampingnya. Saya pun menghampiri mereka, karena sepertinya itu adalah orang tua dari siswa baru (di sekolah kami, siswa TK tidak ditunggu oleh orang tuanya). Wah, masyaAllah ternyata beliau saya kenali. Beliau adalah Ummu Karimah, kami berkenalan sewaktu i’tikaf dan Daurah Ramadhan kemarin di Selacau, Bandung. Waktu itu, ummu masih mengandung anaknya yang bungsu. Sekarang anaknya sudah lahir dan Karimah sudah menjadi kakak di usia dua tahun.
Saat bertemu, kami saling heran, ko bisa bertemu disini. Langsung saja kami larut dalam obrolan kesana-kemari. Dan ternyata Karimah menangis karena belum cocok dengan udara Cirebon yang cukup berbeda dengan udara Bandung. Beliau ada di sekolah untuk keperluan menitipkan Matahari anaknya yang pertama, karena ayahnya yang bekerja sebagai ABRI sedang cuti selama 2 pekan. Mereka berliburan di Cirebon, di rumah orang tua suaminya.
“Yah dari pada ngga ada kegiatan yang bermanfaat, sekolah saja mendingan...” Ummu Karimah mengatakan itu padaku.
Dalam hatiku terbesit, “Alhamdulillah, Matahari sudah sembuh rupanya” namun saya tidak berani mengatakannya, karena dirasa tidak enak. Saya ingat akan cerita beliau ketika i’tikaf dulu. Beliau tertimpa musibah atas kecelakaan yang terjadi pada Matahari, saat Matahari masih berumur 8 bulan. Mereka berdua akan menaiki sebuah mobil ABRI sejenis truk, namun sopir teledor tidak melihat masih ada yang akan naik lagi. Mundurlah mobil tersebut, dan ternyata ummu dan Matahari tergencet di belakangnya ke mobil truk yang lainnya. Ummunya sendiri tidak merasa apa-apa karena tidak terlalu sakit. Begitupun Matahari yang sewaktu itu digendong, ketika diperiksakan tidak ada apa-apa. Namun, qadarullah sebulan kemudian baru terlihat, kaki Matahari menjadi lemah sekali, bahkan refleksnya kurang. Dan saat diperiksa ulang, ada bagian saraf yang putus di tulang belakangnya yang menyebabkan masalah pada kakinya.
Waktu berkenalan dulu, Matahari sudah berusia hampir 4 tahun. Miris sekali melihatnya, dia belum bisa berjalan, yang dia bisa lakukan hanya mengesot kesana-kemari. Tulang-tulang kakinya terlihat sekali, dan sangat lemah. Tidurpun kakinya tidak bisa diluruskan sehingga tidak bisa tidur terlentang. Saya benar-benar merasa sangat iba melihatnya.
Setelah mengobrol singkat dengan ummu, saya belum sempat melihat Matahari, karena deadline tugas saya menunggu. Yang saya tahu, dia masuk ke TK kecil yang diwalikelasi guru yang top berdasarkan versi saya, sehingga saya menyarankan untuk tidak terlalu khawatir kepada ibunya. Ternyata seharian, ummu menunggu Matahari di sekolah (maklumlah, hari pertama masuk sekolah, anak suka rewel). Dan semenjak mengobrol, saya tidak bertemu lagi hingga sore saat bel pulang pukul 16.00. Sebelum pulang, Ummu Karimah menghampiriku sambil menuntun Matahari. Saat saya melihatnya, mata saya langsung berkaca-kaca. Masya Allah.. mungkin tidak ada ungkapan kata yang bisa saya tuliskan disini untuk mendeskripsikan keadaan Matahari secara tepat. Yang melihatnya tentu akan merasa sangat iba, ingin sekali menggendongnya saja daripada membiarkannya berjalan tertatih-tatih kesusahan.
“’Ammah Fusti, ini Matahari, masih inget kan ‘Ammah?” Tanya Ibunya kepadaku. (‘Ammah itu artinya bibi, di Bandung kalo ada akhwat yang belum menikah biasa disapa dengan sebutan ‘Ammah)
“iya donk tentu.. aja.. tapi kalo disini manggilnya bu guru aja ya, kalo nanti ‘Ammah ke Bandung lagi, boleh deh manggilnya ‘Ammah, Ok?” jawabku.
Matahari tersenyum hangat kepadaku, sambil diajari ummunya, dia berkata “Iya bu Fustiiiii...”. Senang sekali melihat anak-anak tersenyum. Senyum mereka jujur, tanpa beban, tanpa tekanan, membuat fresh melihatnya. Begitu pula senyumnya Matahari yang membuat cerah suasana sore itu.
Saya mengantarnya keluar sambil melihatnya mengenakan sepatu. Sepatu yang dikenakannya terlihat menyakitkan dan memberatkan untuknya, dia memakai sepatu terapi dari dokter. Beratnya saya taksir lebih dari satu kilo. Saya pun semakin iba saja, “hati-hati di jalan ya nak ya.. besok insyaAllah ketemu ibu lagi..” kata perpisahan dariku.
Lagi-lagi dia tersenyum merespon ucapanku, “iya bu guru, Assalamu’alaikum” ucapan terakhirnya sambil mencium tanganku. Di luar pagar sekolah, ayahnya sudah menunggu. Ummu pun berpamitan pulang.
Keesokan harinya, Ummu menghampiriku dan berkata: “Ammah, ana nitip Matahari ya.. insyaAllah Matahari ngga ditunggu lagi, kalo ada apa-apa ‘ammah hubungi ana saja”. Wah.. amanah baru untuk saya, saya pun berucap insyaAllah sebagai tanda kesediaan saya. Ummunya langsung pulang setelah memberikan nomer HP-nya, dan terlihat tidak ada kekhawatiran pada diri beliau, meninggalkan anak sulungnya di lingkungan baru.
Seharian saya yang jadi khawatir, takut terjadi apa-apa. Karena bagaimanapun juga saya diamanahkan menjaga Matahari. Bolak-balik saya ke kelasnya memperhatikannya, menanyakan pada wali kelasnya, baik-baik saja apa tidak. Begitu juga hari-hari berikutnya, selama dua minggu dia bersekolah.
Kami guru-guru merasa takjub padanya. Matahari adalah anak yang cerdas, supel, ramah, hangat dan sangat mandiri. Hari pertama dia di sekolah, dia bisa berbaur dengan semua teman-temannya, meski pada mulanya teman-temannya merasa aneh karena kekurangannya, Matahari bisa menempatkan dirinya. Sehingga tidak membuat teman-temannya mengasihani ataupun menjauhi dia. Pernah juga ketika ada seorang anak yang sangat polos dari kelas lain menghampirinya sambil berkata ”ih ih ih bu guru..ko gitu kakinya sih bu...”, Matahari hanya tersenyum tanpa menyimpan dendam pada anak itu dan juga rasa minder dalam dirinya. Begitupun dengan teman-temannya yang keheranan dengan keadaan fisiknya. Matahari selalu tersenyum. Senyum.. senyum dan senyum... dia menghadapi semuanya dengan senyumannya yang hangat sehingga membuat orang lain mencintainya.
Selalu setiap hari, saat waktunya makan kue, anak-anak berebut antrian di westafel kelas. Guru kelasnya pernah bertanya pada Matahari, “ko ngga buru-buru cuci tangan sih, nak?”, dengan arif Matahari menjawab “kan, westafelnya penuh bu, nanti kalo westafelnya sudah kosong, baru aku kesana” jawabnya sambil tersenyum. Begitu juga setiap setelah jam pelajaran dan bermain, ia sangat baik kepada teman-temannya, bahkan terkadang semua mainan temannya ia selalu bantu bereskan.
Kemudian,semenjak hari ketiga hingga seterusnya, saya selalu menyengajakan diri agar berpapasan setiap pagi menuju ke kelasnya. Setiap pagi itu pula, dia selalu menyapa saya dengan senyuman, “Assalamu’alaikum ibu Fusti” sambil mencium tangan saya.
Dan setiap hari pula saya selalu membalas salamnya, dan menawarkan bantuan untuk saya pegangi tas/tangannya, “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh Matahari, mau bu guru pegangi tasnya? Pegangi tangannya ya?”.
Dan selama itu pula dia selalu menolak bantuan saya, sambil tersenyum ia menjawab.. “Terima kasih bu, ngga usah, aku juga bisa sendiri kok”. Dai situ saya bisa melihat kemandiriannya. Dari jauh saya perhatikan dia ingin menunjukan bahwa dia bisa melakukan segalanya sendiri meski dengan keterbatasan yang ada. Anak yang hebat, saya salut padanya.
Begitu pula wali kelasnya yang cukup mengkhawatirkan Matahari. Setiap kali gurunya menawarkan bantuan dalam bentuk apapun, misalkan: mengambilkan minum, mengambilkan tas, mengambilkan pensil, mengantar ke kamar mandi, Matahari selalu tersenyum sambil menjawab “Terima kasih bu, aku juga bisa sendiri ko”. MasyaAllah.. padahal ketika dia berjalan payahnya minta ampun, berjalan tiga langkah tanpa pegangan dia bisa langsung tumbang. Namun dia bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi, dan jatuh lagi dan begitulah seterusnya hingga ia sampai pada tujuan. Dan ia tidak berharap bantuan dari orang lain sama sekali.
Kemudian ketika pembelajaran di ruang Audio visual yang saya sendiri sebagai penanggung jawabnya. Selain kemandiriannya, saya juga mengagumi akan kecerdasannya, dia bisa menjawab apa yang teman-teman tidak bisa menjawabnya, perbendaharaan kata yang dimilikinya sangat luas untuk anak seusianya, bahkan dia menjadi yang menonjol sendiri menurutku. Saat saya tanyakan kepada gurunya, ternyata Matahari sudah pandai membaca, Matahari bercerita kepada beliau, bahwa setiap hari ia selalu dibacakan cerita oleh umminya, dan ia pun selalu disuruh membaca. Bahkan buku yang ia bawa ke sekolah sebagai buku bacaan, adalah buku bacaan bukan untuk seusianya (buku untuk anak SD), dan tebal sekali sehingga tasnya menjadi berat karena bukunya. Pantas saja Matahari cerdas.
Itulah Matahari, senyumnya yang khas dan badannya yang tegap, membuat rindu. Style-nya mengenakan sepatu boots terapi beserta tasnya yang berat. Kata-katanya yang santun, ramah, mandiri, cerdas, kami semua mengaguminya. Setiap kali kami menceritakannya, bulu kuduk kami selalu berdiri, berasa takjub ada anak sekecil itu yang usianya kurang dari lima tahun, mencoba mengerti akan takdir yang menimpa atas dirinya, bersabar atas kekurangannya, mensyukuri dengan menggali potensinya yang lain, tidak pasrah terhadap keadaan, tegar atas ujian dan selalu tersenyum dengan makna “I’m OK and I can do anything alone”.
Dan ketika Matahari berpamitan pulang, serasa terharu.. saya kehilangan siswa saya, yang selama dua minggu ini selalu menyapa, tersenyum ramah dan paling saya perhatikan. “Nanti Matahari, kalo ke Cirebon ke sini lagi ya, ibu guru-ibu guru disini merindukan sekali sama Matahari” kata perpisahanku, Lalu ia menjawab dengan senyumannya yang khas “iya bu guru”. Lalu ummunya berpamitan pulang. Meskipun hanya dua minggu kami bersamanya, namun kami menyisakan separuh goresan kisah tentang mu, Matahari, yang akan tersimpan rapi dalam lubuk hati kami. Sehingga apa yang telah engkau beri bisa kami ingat dan kami ambil pelajaran dari sinarmu yang tak pernah padam.
Selama tiga minggu ini, Matahari selalu menjadi obrolan, dan kami sangat mengaguminya. Lantas dibalik kekaguman kami kepada Matahari karena kepribadiannya, siapakah yang membentuknya seperti itu? Siapa lagi kalo bukan orang tuanya. Subhanallah, ada ya orang tua seperti abu dan Ummu Karimah. Saya acungkan empat jempol atas asuhannya dalam mendidik. Dan rasa kagumku tertuju pada ibunya sebagai pendidik utama, Ummu Karimah –semoga Allah senantiasa menjaganya-, seorang ibu yang luar biasa, yang mampu mencetak kepribadian anak yang begitu bagus sehingga ada seorang anak bermental dan berakhlak seperti Matahari. Bukankah kita banyak melihat, ketika sebuah keluarga Allah uji mereka dengan anak yang memiliki keterbatasan dan berkebutuhan berbeda dengan anak normal lainnya, ternyata pendidikan yang diberikan kepada anaknya asal-asalan, bahkan orang tuanya sendiri banyak yang belum bisa menerima kekurangan anaknya, dan parahnya ada yang menganggap anaknya sendiri sebagai sampah. La haula wala quwwata illa billah...
Ummu Karimah yang super ramah mengajarkan kasih sayang, sopan santun dan kemandirian kepada anaknya. Ia mengajarkan Matahari untuk selalu tersenyum dan berusaha tidak bergantung kepada bantuan orang lain. Beliau juga secara sabar, berobat dengan terapi untuk kesembuhan anaknya. Entah sampai berapa tahun lagi terapinya, mereka jalani saja dengan sabar. Beliau juga mengajarkan kepada anaknya akan pentingnya pengetahuan, sehingga membuat Matahari gemar membaca. Kemudian, ummu juga mendidik Matahari untuk menjadi seorang penolong dan baik kepada teman-temannya. Itulah Ummu Karimah dalam mendidik Matahari, seorang ibu shalehah yang patut diteladani oleh para ibu lainnya.
Hendaknya kisah yang saya sampaikan menjadi pelajaran bagi orang tua dan calon orang tua. Bahwa anak hanyalah titipan dari Sang Pencipta, dan mungkin saja hidup yang dijalani tidak selalu berarah seperti yang dimaui perahu. Jika takdir sudah berkehendak, maka syukurilah apa yang ada. bukankah apel yang busuk tidak lantas dibuang, kan? Masih ada bagian baik di sisi lainnya. Ambillah sisi baiknya, dan itulah wujud rasa syukur kita terhadap takdir Allah. Alhamdulillah ‘ala kulli haal.
Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment