Friday, November 25, 2011

KAIDAH-KAIDAH PENGAMBILAN SEBAB


Teringat akan momen yang sangat berharga saat Daurah Kitab Tauhid, waktu itu dilaksanakan di sela-sela  liburan kuliah semester ganjil  di akhir januari 2010 dulu. Sebuah pembahasan yang cukup rumit namun menarik karena berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari. Ustadz Hari Badar hafizhahullahu menjelaskan secara detail dengan contoh yang sederhana dalam kehidupan kita yang memang tidak bisa terlepas dari Tauhid ini. Kitab yang berukuran kecil ini baru dibuka lagi setelah cukup lama. Sebuah pembahasan menarik yang berhubungan dengan jawaban setiap pertanyaan “perbuatan ini  dan  itu maksiat ataukah syirik ya?” maka dari itu, sangat urgen untuk kita memahaminya. Jawaban itu tertuang dalam bahasan “kaidah-kaidah pengambilan sebab” yang berada pada bab ke-6 yaitu bagian dari syirik adalah dengan memakai gelang, benang dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal mara bahaya.
Pembahasan ini, diambil dari kitab Qaulus Sadiid fii Maqashid At Tauhid, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy. Kaidah-kaidah pengambilan sebab meliputi tiga hal yang akan lebih mudah jika disertakan contohnya:

  1. Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab, kecuali telah terbukti secara syar’i dan qadari.
Secara syar’i maksudnya terdapat dalam dalil yaitu dalam al-Quran dan hadist yang shahih sebab terjadinya sesuatu, secara qadari maksudnya adalah sunnatullah, berdasarkan pengalaman/penelitian ilmiah sebab terjadinya sesuatu.
Contoh:
ü  Beramal shaleh adalah sebab seseorang masuk surga, bertaqwa sebab mendapatkan kemudahan/kelapangan rizki (ath-thalaq 2-3). Sebab-sebab ini ada secara syar’i, maka jika ingin masuk surga  dapat menempuh sebab dengan melakukan amal shaleh atau jika ingin mendapatkan kemudahan/kelapangan rizki dilakukan dengan bertaqwa.
ü        Seseorang yang ingin sukses, ia menempuh sebab dengan belajar dan bekerja keras, namun ada pula yang dilakukan dengan jalan korupsi. Sebab yang diambil dari keduanya memang ada secara qadari. Namun sebab pertama dihalalkan syari’at dan yang kedua diharamkan syar’iat. Yang pertama dihukumi mubah dan yang kedua adalah maksiat.
ü         Setelah terbukti baik secara empirik maupun riset, bahwa ular dapat menyembuhkan suatu penyakit. Namun, karena terdapat dalil yang melarangnya, maka berobat dengan ular adalah haram.  Seorang yang terjatuh pada contoh ini adalah maksiat, meskipun sebab tersebut terbukti secara qadari, namun syari’at tidak membolehkannya.
ü        Seorang ibu menggantungkan tamimah, yaitu memakaikan kalung pada anak-anak agar dijauhkan dari penyakit dan makhluk halus; memakai jimat berupa gelang agar tidak diganggu setan. Sebab-sebab ini tidaklah terbukti secara syar’i dan qadari.  Sehingga hukum asalnya adalah syirik ashghar.


  1. Tidak bersandar kepada sebab tersebut. Tetapi menyandarkannya pada Allah Ta’ala.
Ketika mengambil suatu sebab, maka dianjurkan untuk tidak percaya sepenuhnya dengan keampuhan dan manfaat sebab tersebut saja, melainkan harus tetap bertawakal kepada Allah.
Contoh:
-          Seseorang yang sakit dan terbiasa berobat kepada seorang dokter. Ia sudah berusaha mencari dokter tersebut namun rupanya dokter tersebut sudah tidak ada lagi. Lalu ia enggan berobat ke dokter lain, karena ia berkeyakinan hanya pada dokter itu sajalah sakitnya dapat disembuhkan. Maka dalam hal ini, ia bersandar kepada sebab, padahal sebab yang menyembuhkannya bukanlah hanya dokter itu saja.
-          Seorang mempersiapkan untuk ujian, namun hari-hari sebelumnya ia belum sempat belajar,  malam harinya pun  ia ketiduran dan paginya ia bangun kesiangan. Ia sangat panik dan menyalahkan diri. Maka dalam hal ini ia juga bersandar pada sebab belajar saja, padahal kesuksesan sebuah ujian tidaklah seluruhnya berdasarkan sebab belajar semata.
Ciri-ciri seseorang yang menyandarkan pada sebab adalah hatinya merasa tidak tenang jika sebab tersebut belum terpenuhi. Seorang yang sedang sakit, dan seorang yang belum belajar ujian tersebut, akan merasa sangat panik hingga mendapatkan kembali sebab yang belum ia peroleh tersebut. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan seorang terjatuh dalam syirik ashghar.

  1. Mengetahui bahwa kemanjuran suatu sebab, adalah bergantung sepenuhnya dan tidaklah keluar dari kehendak (Qadha dan Qadar) Allah Ta’ala semata.
 Oleh karenanya kita dapat melihat dimana sebab dapat tidak berlaku, seperti api yang seharusnya menjadi sebab terbakarnya Nabi Ibrahim alaihissalam, menjadi sejuk dan dingin atas kehendak Allah. Jika seseorang mengabaikan hal ini dalam mengambil suatu sebab, maka ia terancam jatuh dalam Syirik Akbar, karena melalaikan kekhususan Allah dalam hal rububiyyah.

Maka secara ringkas, macam-macam orang dalam hal pengambilan sebab adalah:
1.      Jika telah memenuhi 3 kriteria tersebut, sebab qadarinya pun halal, maka sempurna tauhidnya
2.      Jika sudah terpenuhi 3 kriteria tersebut, namun sebab qadarinya haram, maka merupakan kemaksiatan, bukan kesyirikan.
3.      Jika tidak memenuhi kriteria 1, maka dihukumi syirik kecil
4.      Jika tidak memenuhi kriteria 2, maka ia bergantung kepada sebab, maka dihukumi syirik kecil
5.      Jika tidak memenuhi kriteria 3, maka dihukumi syirik akbar.

Maka jika kita telah memahami ini, kita akan tahu bagaimana seharusnya suatu perbuatan itu dilakukan agar tidak bertentangan dengan syari’at. Wallahu a’lam. Mudah-mudah Allah memberikan kefaqihan kepada kita dan dijauhkan dari perbuatan maksiat dan syirik kepada-Nya.

Diselesaikan di malam tasyrik pertama, 7 November 2011 di beranda belakang rumah dengan dinaungi gugusan bintang-bintang langit malam yang indah

No comments:

Post a Comment